sumber foto:google |
Saya
ingin menceritakan kembali kisah dari seorang pembicara di suatu seminar
menulis yang pernah saya ikuti. Pembicara ini menceritakan ulang isi sebuah
tulisan seorang penulis dunia terkenal. Saya lupa namanya.
Dalam
tulisannya, penulis itu menuturkan tentang
kisah seorang nenek dan cucunya. Suatu sore selepas bermain, Sang cucu melihat
neneknya sedang menulis sesuatu menggunakan pensil. Si Cucu ini pun bertanya kepada
neneknya yang sedang menulis. “ Nek, apa yang sedang engkau tulis,?” tanyanya
dengan penasaran.
Neneknya
tersenyum, lalu menjawabnya.
“Saya
sedang menulis tentang pensil, Cucuku.”
“Apa
yang menarik dari sebuah pencil? Bukankah dia biasa saja? Hanya sebuah benda
kecil yang di pakai untuk menggores.”
Sang
nenek tersenyum, lalu mengusap kepala cucunya lembut.
“Tentu
saja pencil sangat istimewa dan Nenek ingin kamu seperti pencil, Cucuku. Belajar
dari filosofi sebuah pencil.”
“Apa
itu Nek?”
“Dari
pencil, banyak hal yang bisa kita jadikan pelajaran. Benda kecil yang kamu
anggap biasa ini mempunya filosofi tersendiri
Pertama,
pencil di gunakan untuk menggoreskan sesuatu.
Dia meninggalkan jejak sepanjang goresannya. Jadilah seperti pencil yang
menggoreskan dan meninggalkan jejak dalam tapak hidupmu. Orang lain melihat
hasilnya dan merasakan manfaatnya.
Kedua,
ketika salah menggores, dia bisa dihapus. Goresan pencil yang salah bisa
dihapus. Maka contohlah filosofi pada pencil ini. Dalam kehidupan, tiada
makhluk bernama manusia luput dari kesalahan. Dalam niatnya menggoreskan
kebaikan pun, bisa saja dia berlaku salah. Apalah lagi jika memang kesalahan
itu dia rencanakan. Tapi ingatlah, seperti halnya pencil, kesalahan manusia pun
bisa diperbaiki.
Ketiga,
untuk menjadi tajam, pencil harus diserut. Dan jika saja pencil itu mampu
merasa, dia akan sangat kesakitan. Tapi setelah diserut, pencil itu akan
semakin tajam dan nyaman ketika digunakan. Goresan yang dihasilkan pun sangat
jelas. Nah, begitu pulalah manusia. Merasakan ‘diserut’ dan kesakitan adalah
hal yang harus dilalui. Tempaan tempaan yang dirasakan tentu saja tidak mudah.
Tapi ketahuilah, bahwa ‘diserut’, kesakitan dan tempaan itulah yang menjadikan
manusia kuat dan semakin percaya diri dengan apa yang dihadapinya.
Keempat,
bagian yang terpenting dari pencil itu adalah bagian dalamnya. Tidak akan ada
gunanya pencil sebagus apapun jika dia tidak punya grafit. Maka ambillah
pelajaran darinya. Bahwa dari manusia pun, hal yang penting itu adalah ‘isi
dalamnya’. Pengetahuan dan pemahaman. Sebagus apapun tampak luar, ketika hal
penting ini tak dimiliki, maka dia sama seperti pencil yang tak ber-grafit.
Kelima,
pencil tidak akan bergerak untuk menuliskan sesuatu tanpa ada tangan yang
menggerakkanya. Dari pencil kita belajar bahwa, sehebat apapun kita, ada
‘tangan’ yang menggerakkan kita. Kita bergerak dibawah kehendak-Nya. Dialah
Sang Maha Berkehendak atas apa yang kita goreskan. Sehebat apapun goresanmu,
jangan pernah lupa, bahwa sesungguhnya ada ‘tangan’ yang membimbingmu
menggoreskannya. Olehnya, jangan pernah lupa mengingat Tangan Yang Maha
Berkehendak itu. Manusia mampu
‘menggores’ adalah karena kehendak-Nya.
Nah
Cucuku, Nenek ingin kamu menjadi seperti pencil, belajarlah dari philosofi
sebuah pencil.”
Sang
Nenek menutup penjelasanya sambil memeluk cucunya.
What
a cute short story.!
Makassar,
27 Januari 2014
Rahma
Afnan
4 komentar:
nice story! (y) aku share, ya. :)
nama penulisnya Paulo Ceolho :)
Silahkan mba, makash y :-)
Terimakasi K Isma :-)
Posting Komentar
tinggalkan jejak ya... :)