The Philosophy of A Pencil

Senin, 27 Januari 2014



sumber foto:google

Saya ingin menceritakan kembali kisah dari seorang pembicara di suatu seminar menulis yang pernah saya ikuti. Pembicara ini menceritakan ulang isi sebuah tulisan seorang penulis dunia terkenal. Saya lupa namanya.
Dalam tulisannya, penulis itu menuturkan tentang  kisah seorang nenek dan cucunya. Suatu sore selepas bermain, Sang cucu melihat neneknya sedang menulis sesuatu menggunakan pensil. Si Cucu ini pun bertanya kepada neneknya yang sedang menulis. “ Nek, apa yang sedang engkau tulis,?” tanyanya dengan penasaran.

Neneknya tersenyum, lalu menjawabnya.
“Saya sedang menulis tentang pensil, Cucuku.”
“Apa yang menarik dari sebuah pencil? Bukankah dia biasa saja? Hanya sebuah benda kecil yang di pakai untuk menggores.”
Sang nenek tersenyum, lalu mengusap kepala cucunya lembut.
“Tentu saja pencil sangat istimewa dan Nenek ingin kamu seperti pencil, Cucuku. Belajar dari filosofi sebuah pencil.”
“Apa itu Nek?”
“Dari pencil, banyak hal yang bisa kita jadikan pelajaran. Benda kecil yang kamu anggap biasa ini mempunya filosofi tersendiri
Pertama, pencil di gunakan  untuk menggoreskan sesuatu. Dia meninggalkan jejak sepanjang goresannya. Jadilah seperti pencil yang menggoreskan dan meninggalkan jejak dalam tapak hidupmu. Orang lain melihat hasilnya dan merasakan manfaatnya.
Kedua, ketika salah menggores, dia bisa dihapus. Goresan pencil yang salah bisa dihapus. Maka contohlah filosofi pada pencil ini. Dalam kehidupan, tiada makhluk bernama manusia luput dari kesalahan. Dalam niatnya menggoreskan kebaikan pun, bisa saja dia berlaku salah. Apalah lagi jika memang kesalahan itu dia rencanakan. Tapi ingatlah, seperti halnya pencil, kesalahan manusia pun bisa diperbaiki.
Ketiga, untuk menjadi tajam, pencil harus diserut. Dan jika saja pencil itu mampu merasa, dia akan sangat kesakitan. Tapi setelah diserut, pencil itu akan semakin tajam dan nyaman ketika digunakan. Goresan yang dihasilkan pun sangat jelas. Nah, begitu pulalah manusia. Merasakan ‘diserut’ dan kesakitan adalah hal yang harus dilalui. Tempaan tempaan yang dirasakan tentu saja tidak mudah. Tapi ketahuilah, bahwa ‘diserut’, kesakitan dan tempaan itulah yang menjadikan manusia kuat dan semakin percaya diri dengan apa yang dihadapinya.
Keempat, bagian yang terpenting dari pencil itu adalah bagian dalamnya. Tidak akan ada gunanya pencil sebagus apapun jika dia tidak punya grafit. Maka ambillah pelajaran darinya. Bahwa dari manusia pun, hal yang penting itu adalah ‘isi dalamnya’. Pengetahuan dan pemahaman. Sebagus apapun tampak luar, ketika hal penting ini tak dimiliki, maka dia sama seperti pencil yang tak ber-grafit.
Kelima, pencil tidak akan bergerak untuk menuliskan sesuatu tanpa ada tangan yang menggerakkanya. Dari pencil kita belajar bahwa, sehebat apapun kita, ada ‘tangan’ yang menggerakkan kita. Kita bergerak dibawah kehendak-Nya. Dialah Sang Maha Berkehendak atas apa yang kita goreskan. Sehebat apapun goresanmu, jangan pernah lupa, bahwa sesungguhnya ada ‘tangan’ yang membimbingmu menggoreskannya. Olehnya, jangan pernah lupa mengingat Tangan Yang Maha Berkehendak itu.  Manusia mampu ‘menggores’ adalah karena kehendak-Nya.
Nah Cucuku, Nenek ingin kamu menjadi seperti pencil, belajarlah dari philosofi sebuah pencil.”
Sang Nenek menutup penjelasanya sambil memeluk cucunya.
What a  cute short story.!

Makassar, 27 Januari 2014
Rahma Afnan

4 komentar:

Aulia Rakhmawati mengatakan...

nice story! (y) aku share, ya. :)

ismiiisma mengatakan...

nama penulisnya Paulo Ceolho :)

Rahma Afnan mengatakan...

Silahkan mba, makash y :-)

Rahma Afnan mengatakan...

Terimakasi K Isma :-)

Posting Komentar

tinggalkan jejak ya... :)