1. Semua
orang ngomongin politik. Paham maupun
tidak. Dari tongkrongan tukang becak, café-café, hingga kantor kantor elite.
Kecuali mereka yang tidak suka, tidak peka dan tidak tahu.
2.
Media social. Betapa riuhnya tempat ini.
Saling bantai, sikut sana sini,
mencaci, menjagokan pilihan dan menjelekkan lawan. Tanpa ba bi bu nge-share berita
tentang kejelekan calon lawan jagoannya. Lalu dengan santai pake prolog kata kata menghasut dan provokatif. Berapa banyak yang
saling meng-unfriend, ulfollow, blokir karena tidak rela jagoannya dijelek
jelekkan. Huffttt… siapa yang bersaing,
siapa yang bermusuhan…….??!!
3. Media
mainstream. Waah ini lebih kacau lagi. Apa yang terjadi dengan pers Indonesia?
Beginilah, jika media bercampur dengan politik. Media tidak bisa lagi berdiri
di tengah, antara masyarakat dan calon presiden itu. Suatu media yang backingnya mendukung salah satu capres
menjadi surga bagi capres sang capres dan neraka bagi lawan politiknya. Berita
baik capres jagoanlah yang selalu disajikan dan sudah tentu isu isu miring
lawan politik sang pemilik media. Bahkan baru baca judul berita saja, kita
sudah bisa menebak media ini dukung siapa. Dan sepertinya akan terus berlanjut
setela pemilu. Siapapun yang menang, maka media yang berseberangan dengannnya
akan terus memberitakan keburukannya. Bodo amat dengan yang namanya kode etik
jurnalistik. Berita yang cover both side??? Nol besar. Jangan harap ada!
Kebebasan pers yang kebablasan! Ckckc…
pers kita lagi sakit!
4. Tabayyun,-hal
yang diperintahkan oleh agama ketika mendapatkan suatu berita- sudah banyak
dilupakan orang. Mengecek kebenaran berita, tidak lagi dilakukan. Mereka lebih
suka yang instan. Cepat saji. Padahal rahasia umum yang cepat saji biasanya
tidak ‘sehat’. Efek dunia digital yang semakin tidak terelakkan kali ya… Berita
sekarang luar biasa cepatnya. Ah.. tabayyun lah..jangan makan berita mentah
mentah. Apalagi baru baca judul berita sudah terhasut. Padahal salah satu trik
media menarik pembaca adalah membuat judul yang provokatif. Ckckck…
5. Banyak
analisis tentang capres pilihan. Tentu saja yang baik baiknya. Kebaikan yang
akan terjadi jika dia terpilih. Ini lebih baik dari pada menjelek jelekkan
capres lain, black campaign. Begitulah seharusnya, memilih karena kemampuan dan
kelebihannya, bukan karena kejelekan capres lain. Sama dengan kita, kita tidak mejadi lebih baik dengan menjelek jelekkan
orang. Yang menghina tidaklah lebih baik dari yang dihina. Be fair! Bersaing yang
sehat. Kampanye juga yang sehat.
*catatan malam ini, dari
saya yang gusar…. :D
Mks, 3 Juni 2014
0 komentar:
Posting Komentar
tinggalkan jejak ya... :)